Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian
Produksi Tanaman
Cabai Rawit
(Studi Kasus di Desa Bulupasar,
Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri)
Agus Miyanto
Program
Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Sosial dan Ekonomi, Universitas Surya
E-mail:
agoesmiyanto@gmail.com
Abstrak
Perubahan iklim merupakan
fenomena alam yang saat ini menjadi isu
penting yang dibicarakan oleh dunia. Perubahan iklim memberikan dampak dalam
berbagai sektor, salah satunya adalah sektor pertanian. Pertanian merupakan
sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim, karena iklim adalah penentu
utama dari hasil produksi. Hal tersebut terlihat seperti kasus hasil produksi
cabai rawit di desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri pada tahun
2009—2010. Hasil dari penelitian ini adalah dengan adanya perubahan iklim
memberikan dampak penurunan terhadap hasil produksi cabai rawit dari hasil
tahun 2009 yang mampu mencapai 1.237 kg mengalami penurunan menjadi 615 kg pada
tahun 2010, atau terjadi penurunan produksi sebesar 50,28%. Namun dengan menurunnya hasil produksi, harga
cabai rawit mengalami peningkatan menjadi Rp54.146,-/kg di tahun 2010 yang
sebelumnya 8.427,-/kg pada tahun 2009,
sehingga dengan meningkatnya harga cabai memberikan kenaikan pendapatan para
petani cabai di Desa Bulupasar sebesar
Rp26.351.304,-.
Pendahuluan
Perubahan iklim yang dipicu oleh
pemanasan global akibat dari efek gas
rumah kaca merupakan isu lingkungan yang mendapat perhatian dalam beberapa
dekade terakhir. Perubahan iklim (climate
changes) merupakan salah satu fenomena alam dimana terjadi perubahan nilai
unsur-unsur iklim baik secara alamiah maupun yang dipercepat akibat aktifitas
manusia di muka bumi ini. Sejak revolusi industri dimulai hingga sekarang telah
menyebabkan terjadinya peningkatan suhu udara global.
Selain itu, perubahan iklim juga
menyebabkan anomali iklim seperti fenomena Enso (El-Nino dan La-Nina), IOD
(Indian Ocean Dipole), penurunan atau peningkatan suhu udara secara ekstrim,
curah hujan dan musim bergeser dari pola biasanya dan tidak menentu serta
permukaan air laut meningkat dan terjadinya rob di beberapa wilayah. El-Nino
adalah kejadian iklim di mana terjadi penurunan jumlah dan intensitas curah
hujan akibat naiknya suhu permukaan laut di wilayah Samudra Pasifik Selatan
yang mendorong mengalirnya massa uap air di wilayah Indonesia ke arah timur.
Sebaliknya, La-Nina adalah kejadian iklim di mana terjadi peningkatan jumlah
dan intensitas curah hujan hingga memasuki musim kemarau akibat penurunan suhu
permukaan laut di wilayah Samudra Pasifik Selatan yang memperkaya massa uap air
di wilayah Indonesia (Nurdin, 2010).
Iklim selalu berubah menurut ruang
dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus
tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan. Selain
perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah
secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal. Perubahan
iklim (anomali) akan membawa pengaruh
pada intensitas dampak dan sangat tergantung pada tingkat penyimpangannya (Ariyanto, 2010).
Pertanian
adalah sektor yang sangat rentan
terhadap perubahan iklim, karena iklim adalah penentu utama dari produktivitas
pertanian (Adams, at.al., 1998). Menurut
Subarjo, negara-negara dengan kondisi geografis yang lebih khusus seperti India
dan Afrika akan mengalami penurunan produksi pertanian yang lebih tinggi lagi
(Muslim,2013). Kebanyakan negara berkembang, sektor pertanian memberikan mata
pencaharian utama dan pekerjaan bagi sebagian besar penduduk dan memberikan
kontribusi jauh terhadap PDB nasional. Menurut Komisi untuk Afrika 2005, Oleh
karena itu, penurunan produksi pertanian yang disebabkan oleh Perubahan iklim
di masa depan serius dapat melemahkan ketahanan pangan dan memperburuk mata
pencaharian kondisi bagi penduduk miskin pedesaan (Calzadilla, at.al., 2010).
Perubahan iklim terjadi di Indonesia dan berdampak
pada wilayah wilayah pertanian dan kawasan pesisir (Adger, 2001). Sektor
pertanian merupakan salah satu sektor penting yang mengalami dampak perubahan
iklim, terutama diakibatkan oleh banjir, kekeringan, dan hama (IPB, 2009), di Indonesia
merupakana salah satu negara yang mengalami dampak perubahan iklim dalam sektor
pertanian. Sektor pertanian yang mengalami dampak dari perubahan iklim antara lain
seperti tanaman pangan, padi, jagung kedelai maupun cabai.
Cabai termasuk tanaman yang mengalami kerusakan akibat
perubahan iklim yang ekstrim. Akibatnya, terjadi penurunan produksi yang cukup
signifikan sehingga kenaikan harga tidak dapat dihindarkan. Menurut Herlina,
2010, tanaman cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki
nilai ekonomi penting di Indonesia (Maulidah, at.al., 2012).
Cabai dapat tumbuh baik di dataran tinggi maupun
dataran rendah. Akan tetapi, tanaman cabai tidak tahan terhadap hujan, terutama
pada waktu berbunga karena bunga- bunganya akan mudah gugur (Sunarjono, 2010). Kondisi
cuaca yang tidak menentu yang menyebabkan itensitas hujan lebih tinggi menyebabkan
penurunan produksi cabai pada khir tahun 2010 hingga awal tahun 2011 mencapai
50% (Anonim, 2010).
Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri,
dikenal dengan pertanian cabainya. Seperti di daerah lain, produksi cabai pada
musim tanam tahun 2010, di lokasi ini juga mengalami penurunan karena curah
hujan yang meningkat, yakni dari 1.415 mm pada tahun 2009 menjadi 1.943 mm pada
tahun 2010, sehingga jumlah produksinya jauh lebih rendah daripada musim tanam
tahun 2009 (BMKG Karangploso, 2011).
Dengan penurunan cabai yang dialami oleh petani desa Bulupasar maka
penulis merumuskan beberapa tujuan yaitu,
(1) Mendeskripsikan pengetahuan dan sikap petani cabai rawit terhada
perubahan iklim di Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri; (2)
Mengetahui dampak perubahan iklim terhadap produksi dan harga cabai rawit pada
tahun 2009 dan 2010 di di Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri; dan
(3) Menganalisis dampak perubahan iklim terhadap pendapatan petani cabai rawit
pada tahun 2009 dan tahun 2010 di Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten
Kediri.
Tinjauan
Literatur
- Perubahan
Iklim
Dalam
laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate
Change
(IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat
Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Pemanasan tersebut terutama
disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer.
IPCC memprediksi peningkatan temperatur
rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 °C (2,0 hingga 11,5 °F) antara
tahun 1990 dan 2010. Kondisi ini akan mengakibatkan iklim tetap terus
menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan
sebelumnya dan karbon dioksida akan
tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu
menyerapnya kembali (Stocker, et al., 2007) . Menurut (United
Nations Framework Convention on Climate Change, 1992), perubahan iklim merupakan perubahan
yang disebabkan oleh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung yang mengubah komposisi atmosfer secara global dan mengakibatkan
perubahan variasi iklim yang dapat diamati dan dibandingkan selama kurun waktu
tertentu.
Perubahan
iklim terjadi di Indonesia dan berdampak pada wilayah-wilayah pertanian dan
kawasan pesisir (Adger, 2001). Sektor pertanian merupakan salah satu sektor
penting yang mengalami dampak perubahan iklim, terutama diakibatkan oleh
banjir, kekeringan, dan hama (IPB, 2009).
- Sektor
Pertanian
Sektor
pertanian merupakan salah satu sektor yang menrima dampak dari perubahan iklim
yang salahsatunya dikarenakan oleh pemanasan global. Dampak dari pemansan
global (Global warming ) akan mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water run-off , kelembaban tanah dan
variasi iklim yang sangat fluktuatif secara keseluruhan mengancam keberhasilan
produksi pangan.
Kajian
terkait dampak perubahan iklim pada bidang pertanian oleh National Academy of
Science/NAS (2007), Iklim jangka panjang seperti perubahan dan peristiwa cuaca
ekstrim akan membawa lebih besar fluktuasi hasil panen dan persediaan makanan
dan risiko yang lebih tinggi dari kerawanan pangan (IPCC 2012). Memahami dampak
dan adaptasi perubahan iklim pada pertanian menurut wilayah sangat penting
untuk kebijakan perubahan iklim. Perubahan iklim dan dampaknya terhadap
pertanian diharapkan bervariasi signifikan antar daerah. Menghadapi perubahan
iklim, bagaimana untuk mengevaluasi dampak perubahan iklim terhadap pertanian,
memahami tanggapan dari petani untuk iklim berubah, dan merumuskan strategi
nasional yang tepat untuk mengatasi perubahan iklim yang paling mendesak menunjukkan
bahwa pertanian di Indonesia telah dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi
hujan tahunan dan antar tahun yang disebabkan oleh Australia-Asia Monsoon and
El Nino-Southern Oscilation (ENSO).
Metode
Penelitian
- Pengumpulan
Data
Dalam
melakukan penelitian ini, penulis melakukan pengambilan data dengan cara menggunakan studi pustaka yang di
dapatkan dari jurnal dan menggunakan penelitian yang telah dilakukan di Desa
Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, yang merupakan
salah satu sentra penanaman cabai rawit terbesar di wilayah Jawa Timur. Selain
itu, dari penelitian pendahuluan, diketahui banyak petani mengalami penurunan
produksi pada tanaman budidaya (cabai rawit) dan perubahan pendapatan dari
musim tanam tahun 2009 ke musim tanam tahun 2010. Pengambilan data dilaksanakan
pada Bulan Mei sampai dengan Juli 2011.
Metode Penentuan Responden
Responden dalam penelitian ini merupakan petani cabai rawit yang ditentukan
secara sengaja (purposive). Responden diambil dari kelompok tani Joyoboyo. Hal
tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, antara lain bahwa kelompok tani
Joyoboyo merupakan kelompok tani pertama dan tertua di Desa Bulupasar. Jumlah
petani cabai rawit di Desa Bajupasar adalah 89. Namun dari sejumlah petani
tersebut, 21 petani tidak menanam cabai rawit pada tahun 2009 dan 27 petani
tidak menanam cabai pada tahun 2010. Dan sisanya, yakni 41 petani menanam cabai
rawit pada periode tahun 2009 dan 2010.
Inilah yang diambil sebagai responden dan disebut sebagai 41 petani responden,
sehingga sesuai dengan tujuan penelitian, yakni membandingkan produksi dan
pendapatan petani cabai rawit tahun 2009 dan 2010.
- Analisis
Data
Metode
Analisis Data Terdapat dua macam metode yang digunakan oleh peneliti terdahulu
yaitu, analisis kualitatif dan kuantitatif.
- Analisis
Kualitatif (Deskriptif) Analisis kualitatif digunakan untuk
mendeskripsikan data secara sistematik, akurat, normatif, dan naratif
mengenai fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang diteliti, yakni
dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim di Desa Bulupasar, Kecamatan
Pagu, Kabupaten Kediri. Kegiatan yang terjadi secara bersamaan dalam proses
pendeskripsian ini antara lain: reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan atau verifikasi.
- Analisis Kuantitatif
Analisis
kuantitatif yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: a. Analisis
Biaya Usaha tani (Total Cost/ TC) b. Analisis Penerimaan Total Usahatani (Total
Revenue/ TR) c. Analisis Pendapatan/ Keuntungan Usaha tani (Π) d. Analisis Uji
Beda Rata-rata.
Hasil
dan Pembahasan
Pengetahuan Petani tentang Perubahan Iklim
Dari penelitian
yang telah dilakukan, pengetahuan responden mengenai perubahan iklim dinyatakan
dengan “Ya” dan “Tidak”. Kemudian, responden memaparkan sedikit pendapatnya
tentang perubahan iklim bagi responden yang menyatakan tahu (ya), seperti
terlihat pada Tabel 1 berikut ini;
Tabel 1. Pengertian Responden Tentang
Perubahan
Iklim
Pengetahuan
|
Jumlah
Responden (Orang)
|
Persentase
(%)
|
Ya
|
35
|
85,37
|
Tidak
|
6
|
14,63
|
Jumlah
|
41
|
100,00
|
Dari 41 responden, 35
diantaranya mengetahui perubahan iklim. Terminologi yang dikemukakan (menurut
pendapat petani itu sendiri) juga cukup tepat. Rata-rata responden menyebutkan
perubahan iklim adalah berubah dan bergesernya musim dari kemarau menjadi
banyak hujan.
Pengetahuan responden ini berasal dari
pengalaman. Hanya sebagian saja responden yang mengetahui perubahan iklim dari
televisi. Sedangkan responden yang tidak mengetahui pengertian perubahan iklim
diketahui sebanyak 6 orang. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan petani
akan hal baru seperti perubahan iklim. Tingkat pendidikan yang relatif masih
rendah membuat petani merasa kesulitan untuk menjelaskan suatu kasus atau
persoalan yang tengah dihadapi. Tidak mengetahui pengertian perubahan iklim,
bukan berarti tidak merasakan adanya perubahan iklim itu sendiri. Seluruh
responden menyatakan telah merasakan adanya perubahan iklim beserta dampaknya (Maulidah, at.al.,2012).
Tabel
2. Responden yang Merasakan Adanya
Perubahan Iklim
Pengetahuan
|
Jumlah
Responden (Orang)
|
Persentase
(%)
|
Merasa
|
41
|
100
|
Tidak
|
0
|
0
|
Jumlah
|
41
|
100
|
Dari table di atas
diketahui bahwa 100% responden merasakan adanya perubahan iklim terhadap
tanaman cabainya, yang menimbulkan sikap yang berbeda dari masing-masing petani
dalam menyikapi kejadian perubahan iklim tersebut.
Sikap
Petani Terhadap Perubahan Iklim
Perubahan
iklim yang berdampak terhadap tanaman cabai rawit menimbulkan berbagai sikap
dan tindakan yang dilakukan oleh para petani di Indonesia, terutama di tempat
penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu, terlihat seperti pada tabel
3.
Tabel
3. Sikap Responden Terhadap Perubahan
Iklim
Sikap
|
Jumlah
Responden (Orang)
|
Persentase
(%)
|
Menambah Perlakuan (perawatan)
|
13
|
31,70
|
Pencabutan
|
5
|
12,20
|
Pembiaran
|
23
|
56,10
|
Jumlah
|
41
|
100,00
|
Dari data yang
diperoleh oleh responden sikap yang paling banyak oleh para petani terhadap
tanaman cabainya yaitu membiarkan tanamnnya tanpa melakukan tindakan lainny
sebesar 56%, sedangkan ada 23% responden melakukan penambahan perlakuan
perawatan terhadap tanamannya, sikap positif ini ditunjukkan dengan melakukan
tindakan nyata berupa perawatan tanaman cabai rawit lebih intensif karena
berharap akan menjadi lebih baik dari kondisi yang semula kurang bagus.
Perlakuan positif yang dilakukan oleh
petanidalam perawatancabai rawit antara lain: penyulaman tanaman, penambahan
frekuensi penyemprotan pupuk daun, lebih kerap melakukan penyiangan dan
penggulu dan, dan memperbaiki drainase
lahan. Dengan perlakuan-perlakuan tersebut, petani mampu mempertahankan kondisi
tanaman cabai rawitnya. Sedangkan terdapat 12,20% yang memilih untuk melakukan
pencabutan terhadap tanaman cabai rawitnya, Hal tersebut dilakukan karena
responden merasa gagal melakukan usaha tani cabai rawit pada musim tanam tahun
2010 dengan indikator, pertumbuhan tanaman di lahan terhambat. Selain itu,
mereka juga berpikir jika menambah perlakuan, justru akan menambah biaya, namun
produksi tetap menurun.
Dampak
Perubahan Iklim terhadap Produksi dan Harga Cabai Rawit
Produksi
usaha tani cabai rawit merupakan hasil panen yang diperoleh dalam satu kali musim
tanam cabai rawit dalam luasan 1 ha. Dari hasil penelitian pada panen musim
tanam tahun 2009 ke tahun 2010, menunjukkan bahwa adanya penurunan produksi
cabai rawit. Penurunan tersebut dapat dilihat dari Tabel 4 di bawah ini:
Tabel 4. Jumlah
Produksi per Ha dan Harga
Cabai Rawit
Uraian
|
Jumlah
|
|
Tahun 2009
|
Tahun 2010
|
|
Produksi (kg)
|
1.237
|
615
|
Harga (Rp)
|
8.427
|
54.146
|
pada Tabel 4 di atas,
dapat disimpulkan, bahwa perubahan iklim memberikan pengaruh yang kuat terhadap
jumlah produksi cabai rawit. Hal tersebut terkait dengan jumlah curah hujan
yang tinggi menyebabkan produksi yang semula mencapai 1.237 kg pada tahun 2009
turun menjadi 615 kg di tahun 2010, atau terjadi penurunan produksi sebesar
49,72%.
Penurunan produksi cabai rawit
memberikan dampak harga cabai rawit yang mengalami peningkatan harga per kilo
gramnya. Tahun 2010, rata-rata harga cabai rawit justru mengalami peningkatan
menjadi Rp54.146,- /kg atau naik sebesar 642,53%, yang semula hanya Rp8.427,-/kg pada tahun 2009,
dalam hal ini hukum permintaan ternyata berlaku yaitu jika persediaan barang
terbatas atau turun, maka harga akan mengalami kenaikan. Jadi perubahan iklim
merupakan salah satu penyebab berkurangnya pasokan cabai rawit sehingga harga
cabai menjadi meningkat. Sedangkan penjelasan tentang penurunan produksi, dapat
dijabarkan sebagai berikut;
Analisis
Produktifitas
Produktivitas
merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan
sumberdaya yang digunakan (input). Pada Tabel 5 berikut ini disajikan rata-
rata produktivitas usaha tani cabai rawit. Bahwa terjadi penurunan produksi
cabai rawit di lokasi penelitian hingga 50,28%, dari 1.237 kg di tahun 2009
menjadi 615 kg di tahun 2010.
Tabel 5. Produktifitas
Usahatani Cabai Rawit
Uraian
|
Jumlah
|
|
Tahun 2009
|
Tahun 2010
|
|
Produksi (kg)
|
1.237
|
615
|
Luas lahan (ha)
|
0,329
|
0,28
|
Produktivitas
(kg/ha)
|
3,512
|
2,072
|
Table 5 dapat menunjukan
bahwa perubahan iklim memengaruhi produktifitas dari tanaman cabai yaitu
menyebabkan turunnya produktifitas hasil panen cabai rawit di daerah
penelitian, yaitu dari tahun 2009 jumlah produktifitasnya sebesar 3.512kg/ha,
turun menjadi 2.072kg/ha di tahun 2010.
Perubahan iklim yang ditandai dengan
peningkatan curah hujan membawa dampak buruk pada tanaman cabai rawit di awal
masa pertumbuhannya. Musim tanam di lokasi penelitian terjadi pada awal Bulan
Juli sampai dengan September. Pada bulan-bulan yang sama, terjadi peningkatan
curah hujan di lokasi penelitian. Hal ini yang menjadi alasan utama terjadinya penurunan
produksi karena tanaman banyak yang layu dan kemudian mati. Hujan yang terus
terjadi hingga Bulan Desember, mengakibatkan rontoknya bunga tanaman cabai
rawit.
Selain memengaruhi kuntitas cabai ,
perubahan iklm juga berpengaruh terhadap kualitas cabai rawit jika pada tahun
2009 kualitas cabai rawit dikatakan bagus dengan pertumbuhan yang normal, maka
berbeda pada tahun 2010 yang kualitasnya menurun meskipun ukuran buahnya lebih
besar namun buahnya rusak . Penurunan kualitas ini ditandai dengan semakin
banyaknya buah yang busuk dengan ciri tanaman lebih pendek dan daun keriput.
Dampak
Perubahan Iklim terhadap Pendapatan Petani Cabai Rawit
- Analisis
Biaya Usahatani Cabai Rawit
Biaya total (TC) merupakan hasil penjumlahan
dari biaya tetap (TFC) dan biaya variabel (TVC) yang telah dikeluarkan oleh
petani cabai rawit dalam satu kali masa tanam.
Tabel
6. Biaya Total Usahatani Cabai Rawit
Per ha
Uraian Biaya
|
Jumlah
|
|
Tahun 2009
|
Tahun 2010
|
|
B. Tetap (TFC)
|
Rp1.612.257,-
|
Rp1.651.630,-
|
B.Variabel (TVC)
|
Rp5.669.215,-
|
Rp5.944.745,-
|
B.Total
|
Rp7.281.472,-
|
Rp7.596.375,-
|
Data pada Tabel 6 menginformasikan kenaikan
biaya total pada usaha tani cabai rawit di lokasi penelitian. Jika pada tahun
2009, biaya total sejumlah Rp 7.281.472,- meningkat menjadi Rp 7.596.375,- pada tahun 2010. Hal
tersebut terjadi karena kenaikan pada biya tetap maupun biaya variabel pada
tanaman cabai rawit.
- Analisis Penerimaan
Penerimaan
(TR) usahatani cabai rawit diperoleh dari hasil kali antara produksi cabai rawit
dengan harga jualnya.
Tabel
7. Penerimaan Usahatani Cabai Rawit
Per Ha
Uraian
|
Jumlah
|
|
Tahun 2009
|
Tahun 2010
|
|
Produksi (kg)
|
1.237
|
615
|
Harga (Rp)
|
8.427
|
54.146
|
Penetimaan
(Rp)
|
10.258.305
|
36.924.512
|
Dari Tabel 7 menunjukan
penerimaan total responden
meningkat dari tahun 2009 ke tahun 2010, yaitu rata-rata penerimaan sejumlah Rp10.258.305,-,
pads tahun 2009 dan pada tahun 2010 menjadi Rp36.924.512,-. Hal ini disebabkan
oleh kenaikan harga yang cukup tinggi (mencapai 642,53%), yaitu dari Rp8.427,-/kg
pada tahun 2009 menjadi Rp54.146,-/kg pada tahun 2010.
Kenaikan harga cabai dipicu oleh
produksi cabai rawit yang menurun drastis hingga 50,28% dari tahun sebelumnya.
Hal ini juga sama terjsdi di daerah sekitar penelitian yang juga mengalami
penurunan hasil panen cabai rawit oleh karena itu kelangkaan terjadi secara
bersamaan di wilayah Kabupaten Kediri
dan sekitarnya. Kelangkaan ini yang pada akhirnya menyebabkan kebutuhan lokal
tidak terpenuhi dan kenaikan harga cabai rawit tidak dapat dihindari.
Analisis
Pendapatan Usahatani Cabai Rawit
Pendapatan/keuntungan usahatani cabai rawit merupakan
selisih dari penerimaan total (TR) dengan seluruh biaya yang telah dikorbankan
(TC).
Tabel
8. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit
Per Ha
Uraian
|
Jumlah
|
|
Tahun 2009
|
Tahun 2010
|
|
Penerimaan (Rp)
|
10.258.305
|
36.924.512
|
Biaya Total (Rp)
|
8.281.472
|
7.596.375
|
Pendapatan
(Rp)
|
2.976.833
|
29.329.137
|
Dari hasil perhitungan
diperoleh bahwa pendapatan yang diterima petani meningkat hingga 10 kali lipat
dari tahun sebelumnya, jika pada tahun sebelumnya (2009) pendapatan petani
cabai rawit di daerah adalah sebesar Rp2.976.833,- maka pada tahun 2010
mengalami kenaikan Rp29.328.137,-. Peningkatan pendapatan ini disebabkan karena
kenaikan harga cabai rawit hingga Rp45.719,-/kg.
Analisis
Uji Beda Rata-rata Pendapatan Petani Cabai Rawit
Pengujian
ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara pendapatan
petani pada tahun 2009 dan tahun 2010, dengan menggunakan taraf signifikansi, α
= 5% atau α = 0,05. Alat analisis yang digunakan dalam analisis uji beda
rata-rata adalah Uji Wilcoxon. Hasil dari pengujian dengan uji Wilcoxon
disajikan pada Tabel 9
Berdasarkan uji
wilcoxon pada Tabel 9, dapat diketahui bahwa dari 41 petani responden, 5 di
antaranya mengalami penurunan pendapatan, dan 36 petani responden mengalami
peningkatan, sedangkan yang tetap tidak ada.
Hasil uji wilcoxon pada Tabel 9 juga diperoleh nilai signifikasi sebesar α=
0,000. Oleh karena taraf signifikansi (α) pada perhitungan lebih kecil dari
taraf signifikansi (α) yang ditetapkan yaitu 5% atau 005 (0,000 < 0,05),
maka dapat dinyatakan bahwa tolak H0 dan terima H1, yang
berarti terdapat perbedaan signifikan antara pendapatan petani cabai rawit pada
tahun 2009 dengan tahun 2010 di lokasi penelitian. Sehingga dapat di simpulkan,
bahwa pada tahun 2010 pendapatan petani cabai rawit di Desa Bulupasar,
Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri mengalami peningkatan.
Kesimpulan
dan Saran
Dari
pembahasan yang telah dilakukn dapat disimpulkan bahwa;
- Petani
cabai rawit di Desa Pugupasar
sebagian besar mengerti tentang arti perubahan iklim dan para petani semua
merasakan dampak adanya perubahan iklim terhadap produktifitas tanaman
cabai rawit. Sikap yang dilakukan oleh para petani pling banyak dengan
adanya perubahan iklim terhadap tanaman cabai rawit yaitu yaitu membiarkan
tanamnnya tanpa melakukan tindakan lainnya sebesar 56%, sedangkan ada 23%
responden melakukan penambahan perlakuan perawatan terhadap tanamannya, dan
sisanya mencabut tanaman yang belum berbunga. Dari ketiga sikap yang
dilakukan oleh para petani, yang paling untung adalah yang tetap melakukn
perawatan terhadap tanamannya, karena para petani tersebut dapat
menghasilan yang besar.
- Perubahan
iklim memberikan pengaruh yang kuat terhadap jumlah produksi cabai rawit.
Hal tersebut terkait dengan jumlah curah hujan yang tinggi menyebabkan
produksi cabai rawit mengalami penurunan produksi dari tahun 2009 mencapai
1.237 kg ke tahun turun menjadi 615 kg, atau terjadi penurunan produksi
sebesar 49,72%. Sedangkan penurunan
jumlah produksi cabai rawit menyebabkan naiknya harga cabai rawit, yang
semula hanya Rp 8.427,-/kg pada tahun 2009, harga naik menjadi Rp 54.146,-/kg
atau naik sebesar 642,53%.
- Perubahan
iklim menyebabkan meningkatnya pendapatan petani cabai rawit di Desa
Bulupasar pada tahun 2010 yaitu
dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp29.328.137,-, di tahun sebelumnya
pendapatan rata-rata hanya mencapai Rp2.976.833,-. Dan berdasarkan uji Wilcoxon terdapat perbedaan
signifikan antara pendapatan petani cabai rawit pada tahun 2009 dengan
tahun 2010 di lokasi penelitian. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa pada
tahun 2010 pendapatan petani cabai rawit di Desa Bulupasar, Kecamatan
Pagu, Kabupaten Kediri mengalami peningkatan.
Saran
bagi para petani cabai rawit dengan adanya perubahan iklim antara lain;
1.
Para petani lebih bijak lagi dalm
menghadapi perubahan iklim yang terjadi pada tanaman, sehingga meskipun terjadi
perubahn iklim para petani dapat mengambil keputusan yng tepat dan lebih
menguntungkan, sebgai contoh ketika terdapat perubahan iklim petani tetap harus
merawat tanamannya dengan baik agar tetap
mendapatkan hasil yang maksimal.
2.
Petani harus lebih selektif dan harus
bisa mengatur perhitungan administrasi dalam melakukan usaha tani, contoh,
petani harus menghitung biaya yang digunakan dalam usaha tani dan mencatat
penghasilan yang ada sehingga dapat dipergunakan untuk pertimbangan usaha
selanjutnya yang lebih baik lagi.
3.
Bagi pihak pemerintah sebaiknya ikut serta
membantu dalam menghadapi permasalahan perubahan iklim terhadap sektor
pertanian dengan ikut serta memberikan solusi dan cara mitigasi maupun adaptasi
terhadap para petani.
Daftar
Pustaka
Adams, R. M., B. H., Lenhart, S.,
& Leary, N. (1988). Effects of global climate change on agriculture: an
interpretative review. Clim Res Vol. 11: 19–30, 1998, 19-30.
Adger, W.N., 2001. Scales of governance and
environmental justice for adaptation and mitigation of climate change. Journal
of International Development, 13, 7, 921-931.
Ariyanto, S. E. (2010). Kajian
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produktifitas Kacang Hijau ( Phaseolus radiatus
L.) di Lahan Kering. Dampak Perubahan Iklim , 1-10.
Calzadilla, A., Katrin Rehdanz a,
c., d, R. B., d, P. F., Wiltshire, A., & And Richard S.J. Tol e, f. (2010).
Climate Change Impacts on Global Agriculture. Working Paper FNU-185.
IPB, B., Kementrian Pertanian, dan Pemerintah
Kabupaten Indramayu, 2009. Penggunaan Informasi Iklim dalam Manajemen Risiko
Iklim.
IPPC. (2001). Climate Change
2001: The Scientifik Basic. Cambridge: Cambridge University Press.
Maulidah, S., Santoso, H., Subagyo,
H., & Rifqiyyah, F. (2012). Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi dan
Pendapatan Usaha Cabai Rawit. SEPA : Vol. 8 No. 2 Pebruari 2012 : 51 – 182,
51-182.
Muslim, C. (2013). Mitigasi
Perubahan Iklim Dalam Mempertahankan Produktifitas Tanah Padi Sawah (Studi
Kasus di Kabupaten Indramayu). Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol.13
(3) 211-222 , 211-222.
Nations, U. (1992). United
Nations Framework Convantion. New York.
Nurdin. (2010.). Antisipasi
Perubahan Iklim Untuk Keberlanjutan Ketahanan Pangan. 1-10.
Silvana Maulidah, at.al.,. (2012).
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi dan Pendapatan Usaha Tani Cabai Rawit.
SEPA: Vol. 8 No. 2 Pebruari 2012 : 51 – 182 , 139.
Stocker, Thomas F.; et al. 7.5.2 Sea Ice . Climate
Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change . Intergovernmental
Panel on Climate Change. Diakses pada 11 Februari 2007.
No comments:
Post a Comment