Pengertian BMKT
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Tahun 2009 di jelaskan bahwa yang disebut sebagai Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam, yang selanjutnya disebut BMKT, adalah benda berharga yang memiliki nilai sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, dan ekonomi, yang tenggelam di wilayah perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia dan landas kontinen Indonesia, paling singkat berumur 50 (lima puluh) tahun (Menkeu, 2009).
BMKT merupakan benda Cagar Budaya yang di kuasai BMKT merupakan benda Cagar Budaya yang dikuasai oleh Negara dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat dan Pembangunan Nasional.
Potensi BMKT di Indonesia
Beberapa arsip di negara-negara Eropa dan China mencatat juga bahwa proses perdagangan ke Nusantara berlangsung selama ratusan tahun. Selain itu pada laporan-laporan arsip tersebut juga tercatat bahwa banyak kapal dagang yang tenggelam di sepanjang wilayah perairan Indonesia. Penyebab tenggelamnya kapal bisa diakibatkan oleh berbagai macam faktor, seperti misalnya badai, perang, maupun karena kelalaian awak kapal (Utomo, 2008: 18). Pernyataan ini semakin kuat dengan data penelitian yang dilakukan oleh sepanjang perairan Indonesia Berdasarkan riset Kementeiran Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014, diperkiraran ada sekitar 463 titik lokasi BMKT di perairan Indoensia, termasuk di Batam, Bintan, Karimun, Lingga dan Natuna. Namun jumlah titik tersebut baru yang teridentifikasi. Mengingat luasnya laut di Indonesia yang menjadi jalur pelayaran dunia diproyeksikan sekitar 700 sampai 800 titik harta karun yang potensial untuk diangkat. Berbeda dengan data yang di sampaikan oleh Badan PBB UNESCO, yang mengatakan bahwa terdapat lebih dari 3.000 titik kapal tenggelam yang berisi BMKT di perairan Indonesia.
Pada umumnya kapal-kapal tersebut membawa kargo, baik berupa komoditi dagang maupun untuk kepentingan agama. Kapal-kapal yang datang dari Asia Barat dan Asia Selatan umumnya membawa barang-barang kaca, manik-manik dari batu mulia, arca-arca batu/ logam, sutera, dan barang-barang seni lainnya. Sementara dari Asia Timur (Cina), barang-barang yang dibawa berupa keramik, emas, dan lain-lain. Ketika kembali ke negara asalnya, kapal-kapal tersebut membawa komoditi yang berasal dari beberapa pulau di Nusantara, seperti kapur barus, damar, kayu cendana, pala, lada, kemenyan, mutiara, gading gajah, dan lain-lain (Wolters, 1974).
Dengan banyaknya jumlah kapal tenggelam di wilayah perairan Indonesia yang memuat barang-barang berharga, bernilai sejarah dan budaya berpotensi memberikan nilai ekonomis yang besar bagi Indonesia. . Nilai ekonomi harta karun sangat fantastis. Harga perkepping rata-rata mencapai 1000 USD. Satiap satu kargo kapal tenggelam memuat puluhan ribu keping benda berharga. Diperkirakan nilai keseluruhan BMKT di Indonesia mencapai US$ 40.000.000 (Lasabuda, 2013).
Sampai saat ini jumlah pengangkatan BMKT di Indonesia sudah sebesar kurang lebih 10% dengan 46 titik tempat. Hal ini menunjukan bahwa potensi BMKT yang masih harus digali dan di kelola oleh pemerintah masih sangat besar dan diperlukan komitmen yang besar dari pemerintah untuk terus memanfaatkan kekayaan yang ada di bawah laut Indonesia terutama dari segi sektor BMKT.
Pemanfaatan BMKT merupakan salah satu cara untuk memberikan dampak dan sumbangsih dalam pemabangunan nasional dan untuk tujuan mensejahterakan masyarakat.
Isu-isu Penting dalam Pengelolaan Sumber daya kelautan
Pengelolaan sumber daya kelautan memiliki berbagai persoalan yang serius yang menjadi isu-isu penting sampai saat ini. Seperti yang disampaikan Ir. Arifin Rudyanto, MSc., PhD (2004) terdapat bebrapa isu penting dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan diantaranya;
1. Kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang bersifat common property (milik bersama) dengan akses yang bersifat quasi open access.
Istilah common property ini lebih mengarah pada kepemilikan yang berada di bawah kontrol pemerintah atau lebih mengarah pada sifat sumberdaya yang merupakan public domain, sehingga sifat sumber daya tersebut bukanlah tidak ada pemiliknya.. Dengan adanya sifat sumber daya yang quasi open access tersebut, maka tindakan salah satu pihak yang merugikan pihak lain tidak dapat terkoreksi oleh pasar. Hal ini menimbulkan ketidak efisienan ekonomi karena semua pihak akan berusaha mengeksploitasi sumberdaya sebesar-besarnya, jika tidak maka pihak lain yang akan mendapat keuntungan. Kondisi seperti inilah yang terjadi saat ini. Dengan didukung oleh teknologi, pihak-pihak yang lebih kuat dan mampu mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan sehingga terjadi hukum rimba (siapa yang kuat, dia yang menang) dan daya produksi alamiah menjadi terganggu.
2. Adanya degradasi lingkungan pesisir dan laut.
Pada awal tahun 80-an, banyak pihak yang tersentak setelah menyaksikan kebijakan pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan produktivitas ternyata telah menimbulkan kerusakan yang serius terhadap lingkungan. Program modernisasi perikanan contohya, yang bertujuan menigkatkan produksi hasil tangkapan nelayan menggunakan teknologi penangkapan yang semakin modern tidak disertai dengan sosialisasi pemahaman yang baik terhadap lingkungan kelautan. Hal ini berakibat fatal terhadap kelestarian lingkungan karena terjadi ekploitasi sumberdaya secara maksimal tanpa memperhatikan potensi lestari yang ada.
Degradasi lingkungan pesisir dan laut yangvmanjdi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir dan nelayan akibat faktor-faktor lain masih berlanjut hingga saat ini seperti misalnya pencemaran lingkungan perairan akibat limbah industri dan rumah tangga. Selain merusak potensi sumberdaya perairan, degradasi lingkungan ini juga berakibat buruk bagi kesehatan dan kelangsungan hidup manusia, terutama masyarakat pesisir.
3. Kemiskinan dan kesejahteraan nelayan.
Perikanan di Indonesia melibatkan banyak stakeholders. Yang paling vital adalah nelayan kecil yang merupakan lapisan yang paling banyak jumlahnya. Mereka hidup dalam kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yang berakar pada faktor-faktor kompleks yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor alamiah dan non alamiah.
Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Sedangkan faktor non alamiah berhubungan dengan keterbatasn daya jangkau teknologi, ketimpangan dalam sistem bagi hasil, tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya jaringan pemasaran, tidak berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang ada. Perubahan sosial ekonomi di desa-desa pesisir atau desa nelayan telah memperjelas garis stratifikasi sosial masyarakatnya.
Nelayan buruh telah memberikan kontribusinya terhadap akumulasi kekayaan ekonomi pada sebagian kecil masyarakatnya yang memiliki alat produksi serta pihak yang menguasai modal dan pasar. Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan kehidupan yang melanda tumah tangga nelayan buruh tidak memungkinkan anggota keluarganya terlibat aktif dalam tanggung jawab sosial di luar permasalahan kehidupan yang substansial bagi mereka. Faktor yang demikian sering menjadi alasan bagi pihak lain untuk menilai secara negatif perilaku sosial masyarakat nelayan. Persepsi seperti ini hanya melestarikan kesenjangan hubungan sosial dalam relasi politik antara pemerintah dan masyarakat nelayan. Dalam jangka panjang, hal ini tidak menguntungkan untuk mendorong perwujudan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Untuk itu diperlukan reorientasi model kepemimpinan dan sasaran perencanaan pembangunan agar lebih kontekstual dan partisipatif.
4. Akses pemanfaatan teknologi yang terbatas.
Semakin tingginya persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir, menuntut masyarakat untuk memaksimalkan produksi mereka. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan penggunaan teknologi. Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam penggunaan teknologi ini menjadi salah satu kendala dan pemicu adanya eksploitasi sumberdaya yang merusak potensi lestari dan berdampak negatif bagi lingkungan. Salah satu contohnya adalah penggunaan bom ikan dan potasium sianida untuk menangkap jenis-jenis ikan dengan nilai ekonomis tinggi di habitat terumbu karang telah merusak dan menimbulkan pencemaran lingkungan yang parah. Contoh lain adalah adanya kesenjangan penggunaan teknologi antara nelayan besar dan tradisional yang berakibat pada makin terdesaknya nelayan tradisional dalam persaingan pemanfaatan sumber daya laut, sehingga banyak yang beralih profesi menjadi buruh nelayan atau buruh bangunan.
5. Peraturan dan kebijakan yang kurang kondusif.
Dengan lahirnya aturan main yang menyangkut hak kepemilikan sumber daya pada tingkat lokal, secara tidak langsung akan memberikan hak kepemilikan (property rights) kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat mengelola sumberdaya pesisir dan laut secara lebih rasional mengingat ketersediaan sumberdaya serta terdegradasinya sumberdaya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Kebijakan pembangunan perikanan yang dijalankan seharusnya tidak hanya mengejar kepentingan ekonomi (khususnya peningkatan devisa negara dari ekspor hasil laut), tetapi juga diimbangi secara proporsional dengan komitmen menjaga kelestarian sumberdaya perikanan yang ada. Disamping itu, harus pula ada komitmen yang tinggi dan konsisten dalam menegakkan peraturan hukum yang berlaku agar dapat menghindari terjadinya konflik-konflik sosial dan ekonomi. Kearifan lokal harus dapat diakomodir sebagai salah satu pranata hukum yang dapat memperkecil terjadinya konflik antar nelayan. Salah satu bentuk akomodasi kearifan lokal ini adalah melalui penyusunan tata ruang wilayah pesisir. Hingga saat ini masih belum banyak daerah dan kawasan pesisir yang memilikinya sehingga belum memiliki kesamaan misi dari berbagai pengaturan dan kebijakan yang dibuat untuk pengelolaan sumberdaya tersebut.
Pengelolaan terpadu Sumberdaya Kelautan
Untuk mengatasi berbagai permasalahan dan isu-isu yang mucul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut ini, dibutuhkan suatu model pengelolaan yang kolaboratif yang memadukan antara unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dll) dan pemerintah yang dikenal dengan Co-management yang menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasaan aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi. Melalui model ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dilaksanakan dengan menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya dalam setiap proses pengelolaan sumberdaya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan.
Hubungan kerjasama yang dilakukan dapat mencakup kerjasama antar sektor, antar wilayah, serta antar aktor yang terlibat.
1. Kerjasama Lintas Sektor
Pada kawasan pesisir, tidak hanya sektor perikanan yang berperan besar. Sektor-sekor lainnya pun memiliki peranan besar karena saling terkait untuk dapat memecahkan permasalahan yang ada. Misalnya saja yang berkaitan dengan perekonomian masyarakat pesisir, sektor industri dan jasa menjadi sektor yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan usaha produktif masyarakat. Yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan juga tidak lepas dari peran serta dan keterlibatan sektor industri dimana biasanya limbah industri dibuang ke perairan. Infrastruktur pendukung juga menjadi hal penting untuk dapat mengembangkan wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan. Untuk itu, kerjasama lintas sektor sangat perlu diperhatikan karena masing-masing sektor memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Masing-masing sektor harus saling mendukung. Peran pemerintah daerah dalam hal ini sangat besar agar terjadi sinergi yang baik dalam pengembangan setiap sektor, sehingga tidak ada yang saling merugikan.
2. Kerjasama Antar wilayah
Kawasan pesisir pada dasarnya tidak dapat dibatasi secara administratif. Berkaitan dengan hal ini, maka wilayah yang termasuk dalam suatu kawasan haruslah saling bekerjasama untuk meminimalisir konflik kepentingan.
3. Kerjasama Antar Aktor (stakeholders)
Upaya pengurangan kesenjangan sektoral dan daerah jelas memerlukan strategi khusus bagi penanganan secara komprehensif dan berkesinambungan. Untuk itu, diperlukan adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk menjembatani persoalan kemiskinan dan kesenjangan sektoral dan daerah tersebut, melalui mekanisme kerjasama antar aktor yang melibatkan unsur masyarakat, swasta, dan perikanan.
Pengelolaan sumber daya kelautan di Indonesia yang belum maksimal memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya, maka diperlukan perhatian yang serius berupa terobosan pemikiran bagi upaya percepatan pembangunan dan pengembangan ekonomi yang terbaik dalam mengimplementasikan rencana pengelolaan kawasan dan rencana aksi yang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki.
Daftar Pustaka
Lasabuda, R. (2013). Jurnal Ilmiah Platax. Jurnal Ilmiah Platax Vol. 1-2 ISSN: 2302-3589.
Rudyanto, A. (2004, September 22). Kerangka Kerjasama Dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Dan Laut. Jakarta, Jakarta, Indonesia.
Menkeu. (2009, November 16). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.06/2009. Jakarta, Jakarta, Indonesia.
Reid, A. (1993). Southeast Asia in the Age of Commerce . Expansion and Crisis.
Rochmani, K. (2013, Januari 3). “Perlindungan Benda Cagar budaya Bawah Air di Indonesia. Buletin Cagar Budaya No. 3 , pp. 14-15.
Widianto, H. (1987). Dan Arkeologipun Menjangkau Dasar Laut. Jakarta: PT Sinar Kasih.
Wolters, O. (1974). Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sriwijaya. Ithaca and London: Cornell University Press.